Selamat datang di blog saya

Antara Sabar dan Sukur

Pasang surut yang mewarnai kehidupan sebuah rumah tangga tak hanya dalam hal hubungan pribadi antara suami dan istri, namun juga menyangkut anak dan rizki. Kesabaran dan sikap syukur menjadi modal yang mesti dimiliki dalam hal ini.
Setiap insan yang hidup di muka bumi ini pasti pernah mengalami suka dan duka. Tak ada insan yang diberi duka sepanjang hidupnya, karena ada kalanya kemanisan hidup menghampirinya. Demikian pula sebaliknya, tak ada insan yang terus merasa suka karena mesti suatu ketika duka menyapanya. Bila demikian tidaklah salah pepatah yang mengatakan, “Kehidupan ini ibarat roda yang berputar”, terkadang di atas, terkadang di bawah. Terkadang bangun dan sukses, terkadang jatuh dan bangkrut, kadang kalah, kadang menang, kadang susah, kadang bahagia, kadang suka dan kadang duka… Begitulah kehidupan di dunia ini, kesengsaraannya dapat berganti bahagia, namun kebahagiannya tidaklah kekal.
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah di antara kalian serta berbangga-bangga dalam banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kalian lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada azab yang keras/pedih dan ada pula ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Kehidupan dunia itu tidak lain kecuali hanya kesenangan yang menipu.” (Al-Hadid: 30)
Suka duka pun suatu kemestian yang dialami sepasang suami istri dalam mengarungi bahtera rumah tangga, karena kesempitan atau kelapangan, kesulitan atau kemudahan datang silih berganti. Ketika diperoleh apa yang didamba, mereka bersuka. Tatkala luput apa yang diinginkan atau hilang apa yang dicintai, mereka berduka.
Sebagai seorang yang beriman kepada Allah l dan mengimani takdir-Nya, sudah semestinya suka dan duka itu dihadapi dengan syukur dan sabar. Allah l menggandengkan dua sifat ini di dalam firman-Nya:
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِكُلِّ صَبَّاٍر شَكُوْرٍ
“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi setiap orang yang banyak bersabar lagi bersyukur.” (Ibrahim:5)
Qatadah t menafsirkan ayat di atas dengan mengatakan, “Dia adalah hamba yang bila diberi bersyukur dan bila diuji bersabar.” (An-Nukat wal ‘Uyun, 3/122)
Rasul yang mulia n telah mengabarkan bahwa mukmin yang sabar atas musibah/duka yang menimpanya dan bersyukur atas nikmat/suka yang diterimanya akan mendapatkan kebaikan. Kabar gembira ini tersampaikan kepada kita lewat sahabat beliau yang mulia Shuhaib Ar-Rumi z. Shuhaib berkata: “Rasulullah n pernah bersabda:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْـمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ لَهُ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh mengagumkan perkara seorang mukmin. Sungguh seluruh perkaranya adalah kebaikan baginya. Yang demikian itu tidaklah dimiliki oleh seorangpun kecuali seorang mukmin. Jika mendapatkan kelapangan ia bersyukur, maka yang demikian itu baik baginya. Dan jika ia ditimpa kemudaratan/kesusahan1 ia bersabar, maka yang demikian itu baik baginya.” (HR. Muslim no. 7425)
Ketika menjelaskan hadits di atas, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t menyatakan bahwa setiap manusia tidak lepas dari ketetapan Allah l dan takdir-Nya. Bisa jadi ia dalam kelapangan dan bisa jadi dalam kesempitan. Dalam hal ini manusia terbagi dua: mukmin dan selain mukmin. Seorang mukmin senantiasa dalam kebaikan pada setiap keadaan yang Allah l takdirkan baginya. Bila ditimpa kesusahan ia bersabar dan menanti datangnya kelapangan dari Allah l serta mengharapkan pahala, maka ia pun meraih pahala orang-orang yang bersabar. Bila mendapatkan kelapangan berupa nikmat agama seperti ilmu dan amal shalih, ataupun nikmat dunia berupa harta, anak dan istri, ia bersyukur kepada Allah l dengan taat kepada-Nya, karena yang namanya bersyukur tidak sebatas mengucapkan “Aku bersyukur kepada Allah l.” Adapun selain mukmin, mendapat kesempitan ataupun kelapangan sama saja baginya, karena ia selalu berada dalam kejelekan. Bila ditimpa kesempitan/kesusahan ia berkeluh kesah, mencaci maki, dan mencela Allah l. Bila mendapat kelapangan ia tidak bersyukur kepada Allah l, Dzat yang telah memberikan nikmat. (Syarhu Riyadhish Shalihin, 1/108)
Seorang mukmin dan mukminah dalam menjalani kehidupan rumah tangganya harus berada di antara kesyukuran dan kesabaran. Karena ia tak luput dari takdir yang baik ataupun yang buruk. Mungkin ia belum dikaruniai anak, maka ia harus bersabar karena anak adalah pemberian Allah l. Dia memberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan terkadang Dia menguji hamba-Nya dengan tidak segera atau tidak sama sekali memberinya keturunan.
لِلهِ مُلْكُ السَّماَوَاتِ وَالْأَرْضِ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُورَ. أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيمًا إِنَّهُ عَلِيمٌ قَدِيرٌ
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi. Dia menciptakan apa saja yang Dia kehendaki. Dia menganugerahkan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki. Atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya). Dia pun menjadikan mandul siapa saja yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (Asy-Syura: 49-50)
Anak diperoleh bukan karena kemahiran seseorang, bukan karena kejantanan, kekuatan, atau kepandaiannya. Berapa banyak orang yang kuat dan memiliki keutamaan lagi kemuliaan namun Allah l tidak memberinya keturunan. Lihatlah istri-istri Rasulullah n, mereka tidak beroleh keturunan dari pernikahan mereka dengan Nabiyullah n, kecuali Khadijah x dan budak beliau Mariyah x. Lihat pula Nabi Ibrahim dan Nabi Zakariyya e, keduanya dikaruniai anak tatkala usia telah senja, tulang-tulang telah melemah, rambut telah dipenuhi uban dan istri pun telah tua lagi mandul2. Lihat pula Maryam ibunda ‘Isa q dikaruniai anak tanpa pernah menikah dan tanpa pernah disentuh oleh lelaki3. Dengan demikian beroleh anak atau tidak, perkaranya kembali kepada Allah l. Dia yang memberi dan Dia yang menahan.
Bila seseorang diberi nikmat berupa anak, hendaklah ia bersyukur kepada Dzat yang telah memberikan anugerah. Namun bila tidak, maka tidak ada yang bisa dilakukan oleh seorang mukmin kecuali tunduk, sabar, ridha dengan ketetapan-Nya dan berbaik sangka kepada Allah k, karena Dia tak pernah berbuat dzalim kepada hamba-hamba-Nya. Dia Maha Tahu apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya, sementara hamba-hamba-Nya tidak tahu apa yang baik bagi mereka.
وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Allah Maha Mengetahui sementara kalian tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216)
Dalam masalah rizki juga demikian. Ketika seorang mukmin dalam kehidupan rumah tangganya tidak memperoleh rizki yang lapang, dalam kemiskinan tiada berharta, ia pun harus bersabar. Karena kelapangan dan sempitnya rizki, kaya atau miskinnya seseorang telah dicatat dan ditetapkan dalam catatan takdir dengan keadilan Allah l. Dia memberi rizki kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Dia menyempitkannya kepada siapa yang Dia kehendaki, sementara Dia tidak berbuat dzalim kepada hamba-hamba-Nya.
Ingatlah, kenikmatan, kemegahan, dan kekayaan dunia bukan jaminan keselamatan di akhirat nanti. Kalaulah kekayaan itu suatu keutamaan dan keadaan yang paling afdhal niscaya Allah l akan menjadikan kekasih-Nya, manusia pilihan-Nya, junjungan anak Adam, yakni Rasulullah n, sebagai orang yang terkaya di dunia, bergelimang harta dan kemewahan.
Tapi ternyata tidak demikian kenyataannya. Beliau n hidup dengan penuh kesahajaan dan kesederhanaan. Terkadang tidak ada makanan yang dapat disantap di rumah beliau sehingga beliau berpuasa. Dikisahkan hal ini oleh istri beliau yang shalihah Ummul Mukminin ‘Aisyah x:
دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ n ذَاتَ يَوْمٍ، فَقَالَ: هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ؟ فَقُلْنَا: لاَ. قَالَ: فَإِنِّي إِذَنْ صَائِمٌ
Suatu hari Rasulullah n masuk ke rumahku, lalu bertanya, “Apakah ada makanan pada kalian (yang bisa kumakan)?” “Tidak ada,” jawab kami. “Kalau begitu aku puasa,” kata beliau. (HR. Muslim no. 2708)
Sampai-sampai untuk membeli makanan, beliau n pernah berhutang dengan menyerahkan baju besi beliau sebagai jaminan. Masih dari kisah Ummul Mukminin ‘Aisyah x:
اشْتَرَى رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُوْدِيٍّ طَعَامًا بِنَسِيْئَةٍ، فَأَعْطَاهُ دِرْعًا لَهُ رَهْنًا
“Rasulullah n pernah membeli makanan dengan pembayaran di belakang (akan dibayar pada waktu yang telah ditentukan), beliau memberi baju besinya kepada si Yahudi sebagai jaminan.” (HR. Muslim no. 4090)
Betapa sabarnya istri-istri Rasulullah n dengan kekurangan dunia yang mereka terima selama hidup dengan suami mereka Rasulullah n, dan beliau pun wafat tanpa meninggalkan warisan untuk mereka. Kata ‘Amr ibnul Harits, saudara Ummul Mukminin Juwairiyyah bintul Harits x:
ماَ تَرَكَ رَسُولُ اللهِ n عِنْدَ مَوْتِهِ دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَلاَ عَبْدًا وَلاَ أَمَةً وَلاَ شَيْئًا إِلاَّ بَغْلَتَهُ الْبَيْضَاءَ الَّتِي كَانَ يَرْكَبُهَا وَسِلاَحَهَا وَأَرْضًا جَعَلَهَا لِابْنِ السَّبِيْلِ صَدَقَةً
“Rasulullah n tatkala wafatnya tidak meninggalkan dinar, dirham, budak laki-laki, budak perempuan, dan tidak meninggalkan harta sedikitpun kecuali seekor bighalnya yang berwarna putih yang dulunya biasa beliau tunggangi dan pedangnya serta sebidang tanah yang beliau jadikan sebagai sedekah untuk musafir.” (HR. Al-Bukhari)
Demikian sebagai anjuran untuk bersabar dengan kesulitan hidup…
Ketika rizki datang pada si mukmin dan kelapangan hidup menyertainya maka rasa syukur kepada Allah l harus diwujudkan. Tidak hanya mengucapkan syukur dengan lisan disertai keyakinan hati, namun harus pula diiringi dengan amalan, yaitu membelanjakan harta tersebut di jalan yang diridhai oleh Sang Pemberi Nikmat dengan infak dan sedekah.

Bergaul dengan Akhlak yang Baik

Mungkin engkau pernah mendengar atau membaca hadits Abu Dzar Al-Ghifari z yang menyebutkan sabda sang Rasul n:
اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada. Susullah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskan kejelekan tersebut, dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Ahmad 5/135, 158, 177, At-Tirmidzi no. 1987, dan selain keduanya. Dihasankan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahihul Jami’ no. 97 dan di kitab lainnya)
Hadits ini, kata Asy-Syaikh Al-Allamah Abdurrahman ibnu Nashir As Sa’di t, merupakan hadits yang agung. Di dalamnya, Rasul yang mulia n mengumpulkan hak Allah l dan hak hamba-hamba-Nya. Hak Allah l terhadap hamba-Nya adalah agar mereka bertakwa kepada-Nya dengan sebenar-benar takwa. Mereka berhati-hati dan menjaga diri agar tidak mendapatkan kemurkaan dan azab-Nya, dengan menjauhi perkara-perkara yang dilarang dan menunaikan kewajiban-kewajiban. Wasiat takwa ini merupakan wasiat Allah l kepada orang-orang terdahulu maupun belakangan. Sebagaimana takwa merupakan wasiat setiap rasul kepada kaumnya, di mana sang rasul menyerukan:
“Beribadahlah kalian kepada Allah dan bertakwalah kepada-Nya.” (Nuh: 3)
Tentang perangai orang yang bertakwa ini, Allah l sebutkan antara lain dalam firman-Nya berikut ini:
“Bukanlah menghadapkan wajah kalian ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, ibnu sabil, dan orang-orang yang meminta-minta, dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila mereka berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang orang yang benar imannya dan mereka itulah orang orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah: 177)
“Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Rabb kalian dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanyà, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali ‘Imran: 133-134)
Allah l menyebutkan sifat orang-orang yang bertakwa sebagai orang yang beriman dengan pokok-pokok keimanan (rukun iman), keyakinan-keyakinan, dan amal-amalnya, baik secara zhahir maupun batin, dengan menunaikan ibadah-ibadah badaniyah (yang dilakukan tubuh) dan maliyah (ibadah dengan harta). Orang yang beriman adalah orang yang sabar dalam kesulitan dan kesempitan, memaafkan manusia, menanggung gangguan dari mereka dengan tabah dan justru berbuat baik kepada mereka. Orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang bersegera meminta ampun dan taubat manakala mereka terjatuh dalam perbuatan keji atau menzalimi diri mereka sendiri.