Hati Yang Sehat
Karena ada hati yang disifati hidup dan sebaliknya maka keadaan
hati dapat dikelompokkan menjadi tiga macam. Pertama, hati yang sehat
yaitu hati yang bersih yang seorang pun tak akan bisa selamat pada Hari
Kiamat kecuali jika dia datang kepada Allah dengannya, sebagaimana
firman Allah,
"(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tiada lagi berguna,
kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih."
(Asy-Syu�ara�: 88-89).
Disebut qalbun salim (hati yang bersih, sehat) karena sifat bersih
dan sehat telah menyatu dengan hatinya, sebagaimana kata Al-Alim,
Al-Qadir (Yang Maha Mengetahui, Mahakuasa). Di samping, ia juga
merupakan lawan dari sakit dan aib.
Orang-orang berbeda pendapat tentang makna qalbun salim. Sedang
yang merangkum berbagai pendapat itu ialah yang mengatakan qalbun
salim yaitu hati yang bersih dan selamat dari berbagai syahwat yang
menyalahi perintah dan larangan Allah, bersih dan selamat dari berbagai
syubhat yang bertentangan dengan berita-Nya. Ia selamat dari melakukan
penghambaan kepada selain-Nya, selamat dari pemutusan hukum oleh selain
Rasul-Nya, bersih dalam mencintai Allah dan dalam berhukum kepada
Rasul-Nya, bersih dalam ketakutan dan berpengharapan pada-Nya, dalam
bertawakal kepada-Nya, dalam kembali kepada-Nya, dalam menghinakan diri
di hadapan-Nya, dalam mengutamakan mencari ridha-Nya di segala keadaan
dan dalam menjauhi dari kemungkaran karena apa pun. Dan inilah hakikat
penghambaan (ubudiyah) yang tidak boleh ditujukan kecuali kepada Allah
semata.
Jadi, qalbun salim adalah hati yang selamat dari menjadikan sekutu
untuk Allah dengan alasan apa pun. la hanya mengikhlaskan
penghambaan dan ibadah kepada Allah semata, baik dalam kehendak, cinta,
tawakal, inabah (kembali), merendahkan diri, khasyyah (takut),
raja�(pengharapan), dan ia mengikhlaskan amalnya untuk Allah semata.
Jika ia mencintai maka ia mencintai karena Allah. Jika ia membenci maka
ia membenci karena Allah. Jika ia memberi maka ia memberi karena Allah.
Jika ia menolak maka ia menolak karena Allah. Dan ini tidak cukup
kecuali ia harus selamat dari ketundukan serta berhukum kepada
selain Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ia harus mengikat
hatinya kuat-kuat dengan beliau untuk mengikuti dan tunduk dengannya
semata, tidak kepada ucapan atau perbuatan siapa pun juga; baik itu
ucapan hati, yang berupa kepercayaan; ucapan lisan, yaitu berita tentang
apa yang ada di dalam hati; perbuatan hati, yaitu keinginan, cinta dan
kebencian serta hal lain yang berkaitan dengannya; perbuatan anggota
badan, sehingga dialah yang menjadi hakim bagi dirinya dalam segala hal,
dalam masalah besar maupun yang sepele. Dia adalah apa yang dibawa oleh
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, sehingga tidak mendahuluinya,
baik dalam kepercayaan, ucapan maupun perbuatan, sebagaimana firman
Allah,
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah
dan Rasul-Nya." (Al-Hujurat: 1).
Artinya, janganlah engkau berkata sebelum ia mengatakannya, ja-
nganlah berbuat sebelum dia memerintahkannya. Sebagian orang salaf
berkata, "Tidaklah suatu perbuatan -betapa pun kecilnya- kecuali akan
dihadapkan pada dua pertanyaan: Kenapa dan bagaimana?" Maksudnya,
mengapa engkau melakukannya dan bagaimana kamu melakukannya? Soal
pertama menanyakan tentang sebab perbuatan, motivasi atau yang
mendorongnya; apakah ia bertujuan jangka pendek untuk kepentingan
pelakunya, bertujuan duniawi semata untuk mendapatkan pujian orang atau
takut celaan mereka, agar dicintai atau tidak dibenci ataukah motivasi
perbuatan tersebut untuk melakukan hak ubudiyah (penghambaan), mencari
kecintaan dan kedekatan kepada Tuhan Subhanahu wa Ta�ala dan mendapatkan
wasilah (kedekatan) dengan-Nya.
Inti pertanyaan yang pertama adalah apakah kamu melaksanakan
perbuatan itu untuk Tuhanmu atau engkau melaksanakannya untuk
kepentingan dan hawa nafsumu sendiri? Sedang pertanyaan yang kedua
merupakan pertanyaan tentang mu taba�ah (mengikuti) Rasul Shallallahu
Alaihi wa Sallant dalam soal ibadah tersebut. Dengan kata lain, apakah
perbuatan itu termasuk yang disyariatkan kepadamu melalui lisan Rasul-Ku
atau ia merupakan amalan yang tidak Aku syariatkan dan tidak Aku
ridhai? Yang pertama merupakan pertanyaan tentang keikhlasan dan yang
kedua pertanyaan tentang mutaba�ah kepada Rasul Shallallahu Alaihi wa
Sallam, karena sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amalan pun
kecuali dengan syarat keduanya.
Jalan untuk membebaskan diri dari pertanyaan pertama adalah
dengan memurnikan keikhlasan dan jalan untuk membebaskan diri dari
pertanyaan kedua yaitu dengan merealisasikan mutaba�ah, selamatnya hati
dari keinginan yang menentang ikhlas dan hawa nafsu yang menentang
mutaba�ah. Inilah hakikat keselamatan hati yang menjamin keselamatan dan
kebahagiaan.
Ighatsatul Lahfan, Ibnul Qoyyim Al Jauziyah
Hati Yang Mati
Tipe hati yang kedua yaitu hati yang mati, yang tidak ada kehidupan di dalamnya. Ia tidak mengetahui Tuhannya, tidak menyembah-Nya sesuai
dengan perintah yang dicintai dan diridhai-Nya. Ia bahkan selalu
menuruti keinginan nafsu dan kelezatan dirinya, meskipun dengan begitu
ia akan dimurkai dan dibenci Allah. Ia tidak mempedulikan semuanya,
asalkan mendapat bagian dan keinginannya, Tuhannya rela atau murka.
Ia menghamba kepada selain Allah; dalam cinta, takut, harap, ridha dan
benci, pengagungan dan kehinaan. Jika ia mencintai maka ia mencintai
karena hawa nafsunya. Jika ia membenci maka ia membenci karena hawa
nafsunya. Jika ia memberi maka ia memberi karena hawa nafsunya. Jika ia
menolak maka ia menolak karena hawa nafsunya. Ia lebih mengutamakan dan
mencintai hawa nafsunya daripada keridhaan Tuhannya.
Hawa nafsu adalah pemimpinnya, syahwat adalah komandannya, kebodohan adalah sopirnya, kelalaian adalah kendaraannya. Ia terbuai dengan
pikiran untuk mendapatkan tujuan-tujuan duniawi, mabuk oleh hawa nafsu
dan kesenangan dini. Ia dipanggil kepada Allah dan ke kampung akhirat
dari tempat kejauhan. Ia tidak mempedulikan orang yang memberi nasihat,
sebaliknya mengikuti setiap langkah dan keinginan syetan. Dunia terkadang membuatnya benci dan terkadang membuatnya
senang. Hawa nafsu membuatnya tuli dan buta selain dari kebatilan.
Keberadaannya di dunia sama seperti gambaran yang dikatakan kepada
Laila, "Ia musuh bagi orang yang pulang dan kedamaian bagi para
penghuninya. Siapa yang dekat dengan Laila tentu ia akan mencintai dan
mendekati."
Maka membaur dengan orang yang memiliki hati semacam ini adalah penyakit, bergaul dengannya adalah racun dan menemaninya adalah kehancuran.
Ighatsatul Lahfan, Ibnul Qoyyim Al Jauziyah
Hati Yang Sakit
Tipe hati yang ketiga adalah
hati yang hidup tetapi cacat. Ia memiliki dua materi yang saling
tarik-menarik. Ketika ia memenangkan per-tarungan itu maka di dalamnya
terdapat kecintaan kepada Allah, keiman-an, keikhlasan dan tawakal
kepada-Nya, itulah materi kehidupan. Di dalamnya juga terdapat kecintaan
kepada nafsu, keinginan dan usaha keras untuk mendapatkannya, dengki,
takabur, bangga diri, kecintaan berkuasa dan membuat kerusakan di bumi,
itulah materi yang menghan-curkan dan membinasakannya. Ia diuji oleh dua
penyeru: Yang satu menyeru kepada Allah dan Rasul-Nya serta hari
akhirat, sedang yang lain menyeru kepada kenikmatan sesaat. Dan ia akan
memenuhi salah satu di antara yang paling dekat pintu dan letaknya
dengan dirinya.
Hati yang pertama selalu tawadhu’, lemah lembut dan sadar, hati yang kedua adalah kering dan mati, sedang hati yang ketiga hati yang sakit; ia bisa lebih dekat pada keselamatan dan bisa pula lebih dekat pada kehancuran.
Allah menjelaskan ketiga jenis hati itu dalam firman-Nya,
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila dia mempunyai sesuatu ke-inginan, syetan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keingin-an itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syetan itu dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana, agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh syetan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu, benar-benar dalam permusuhan yang sangat, dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu meyakini bahwa Al-Qur’an itulah yang haq dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya, dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.” (Al-Hajj: 52-54).
Dalam ayat ini Allah membagi hati menjadi tiga macam: Dua hati terkena fitnah dan satu hati yang selamat. Dua hati yang terkena fitnah adalah hati yang di dalamnya ada penyakit dan hati yang keras (mati), sedang yang selamat adalah hati orang Mukmin yang merendahkan dirinya kepada Tuhannya, dialah hati yang merasa tenang dengan-Nya, tunduk, berserah diri serta taat kepada-Nya.
Yang demikian itu karena hati dan anggota tubuh lainnya diharapkan agar selamat dan tidak ada penyakit di dalamnya, dan melaksanakan tujuan dari penciptaannya. Adapun penyimpangannya dari jalan lurus mungkin karena ia kering dan keras serta tidak melaksanakan apa yang semestinya diinginkan daripadanya. Seperti tangan yang putus, hidung yang bindeng, dzakar yang impoten dan mata yang tak bisa melihat sesuatu. Atau karena terdapat penyakit dan kerusakan yang mengha-langinya melakukan pekerjaan secara sempurna dan berada dalam ke-benaran. Oleh sebab itu, hati terbagi menjadi tiga macam:
Pertama: Hati yang sehat dan selamat, yaitu hati yang selalu mene-rima, mencintai dan mendahulukan kebenaran. Pengetahuannya tentang kebenaran benar-benar sempurna, juga selalu taat dan menerima se-penuhnya.
Kedua: Hati yang keras, yaitu hati yang tidak menerima dan taat pada kebenaran.
Ketiga: Hati yang sakit, jika penyakitnya sedang kambuh maka hati-nya menjadi keras dan mati, dan jika ia mengalahkan penyakit hatinya maka hatinya menjadi sehat dan selamat.
Apa yang diperdengarkan oleh syetan dari kata-kata dan yang dibisik-kannya dari berbagai keragu-raguan dan syubhat adalah merupakan fitnah terhadap dua hati tersebut. Adapun hati yang hidup dan sehat maka dia tetap tegar. Ia selalu menolak berbagai ajakan syetan itu. Ia membenci dan mengutuknya. Ia mengetahui bahwa kebenaran adalah yang sebaliknya. Ia tunduk pada kebenaran, merasa tenang dengannya dan mengikutinya. la mengetahui kebatilan apa yang dibisikkan syetan. Karena itu iman dan kecintaannya pada kebenaran semakin bertambah, sebaliknya ia semakin mengingkari dan membenci kebatilan. Hati yang terfitnah dengan bisikan-bisikan syetan akan terus berada dalam ke-raguan, sedang hati yang selamat dan sehat tak pernah terpengaruh dengan apa pun yang dibisikkan syetan.
Hudzaifah bin Al-Yamani Radhiyallahu Anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Fitnah-fitnah itu menempel ke dalam hati seperti tikar (yang di-anyam), sebatang-sebatang. Hati siapa yang mencintainya, niscaya timbul noktah hitam dalam hatinya. Dan hati siapa yang meng-ingkarinya, niscaya timbul noktah putih di dalamnya, sehingga men-jadi dua hati (yang berbeda). (Yang satunya hati) hitam legam seperti cangkir yang terbalik, tidak mengetahui kebaikan, tidak pula mengingkari kemungkaran, kecuali yang dicintai oleh hawa nafsunya. (Yang satunya hati) putih, tak ada fitnah yang membahayakannya selama masih ada langit dan bumi.” (Diriwayatkan Muslim).
Beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam menyamakan hati yang sedikit demi sedikit terkena fitnah dengan anyaman-anyaman tikar, yakni ke-kuatan yang merajutnya sedikit demi sedikit. Beliau membagi hati dalam menyikapi fitnah menjadi dua macam: Pertama, hati yang bila dihadapkan dengan fitnah serta merta mencintainya, seperti bunga karang menyerap air, sehingga timbullah noktah hitam di dalamnya. Demikianlah, ia terus menyerap setiap fitnah yang dihadapkan pada-nya, sampai hatinya menjadi hitam legam dan terbalik. Inilah makna sabda beliau “cangkir yang terbalik”. Jika hati telah hitam legam dan terbalik maka ia akan dihadapkan pada dua bencana dan penyakit yang membahayakannya serta melemparkannya pada kebinasaan. Pertama, ia memandang sesuatu yang baik sama dengan sesuatu yang buruk. Ia menjadi tidak tahu mana yang baik, tidak pula mengingkari kemungkaran. Bahkan mungkin karena sangat kronisnya penyakit ini, sehingga ia mempercayai bahwa yang baik itulah yang mungkar dan yang mung-kar. itulah yang baik, yang haq adalah batil dan yang batil adalah haq. Kedua, ia menjadikan hawa nafsu sebagai pedoman apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, ia senantiasa tunduk dan mengikuti hawa nafsunya.
Kedua, hati putih yang memancarkan cahaya iman, di dalamnya terdapat pelita yang menerangi. Jika fitnah dihadapkan padanya ia mengingkari dan menolaknya, sehingga hatinya pun menjadi semakin bercahaya, memancarkan sinar dan semakin kokoh.
Fitnah-fitnah yang menimpa hati itulah penyebab timbulnya penya-kit hati. Di antara fitnah-fitnah itu adalah fitnah syahwat dan syubhat, fitnah kesalahan dan kesesatan, fitnah maksiat dan bid’ah, fitnah keza-liman dan fitnah kebodohan. Fitnah-fitnah yang pertama mengakibatkan rusaknya tujuan dan keinginan, sedang fitnah-fitnah kedua mengakibat-kan rusaknya ilmu dan i’tiqad (kepercayaan).
Para sahabat Radhiyallahu Anhum membagi hati menjadi empat macam. Demikian seperti disebutkan dalam riwayat yang shahih dari Hudzaifah bin Al-Yaman, “Hati itu ada empat macam: Pertama, hati murni yang di dalamnya ada pelita yang menyala, itulah hati orang Mukmin. Kedua, hati yang tertutup, itulah hati orang kafir. Ketiga, hati yang terbalik, itulah hati orang munafik, ia mengetahui (kebenaran) tetapi mengingkarinya, ia melihat tetapi membuta. Dan terakhir hati yang terdiri dari dua materi: Iman dan kemunafikan, mana yang menang dalam pergulatan itulah yang menguasai.
Adapun yang dimaksud dengan hati murni yaitu hati yang bebas dari selain Allah dan Rasul-Nya. Ia bebas dan selamat dari selain kebe-naran. Di dalamnya ada pelita yang menyala. Itulah pelita iman. Disebut murni karena ia selamat dari berbagai syubhat batil dan syahwat sesat, juga karena di dalamnya ia memperoleh pelita yang menyinarinya de-ngan cahaya ilmu dan iman. Hati orang kafir disebut sebagai hati yang tertutup karena hati itu ada di dalam sampul dan penutup, sehingga ti-dak ada cahaya ilmu dan iman yang sampai padanya, sebagaimana firman Allah mengisahkan tentang orang-orang Yahudi,
“Mereka berkata, ‘Hati kami tertutup’.” (Al-Baqarah: 88).
Penutup itu Allah letakkan di atas hati mereka sebagai siksaan kare-na penolakan mereka terhadap kebenaran dan kecongkakan mereka sehingga tak mau menerima kebenaran. Ia adalah hati yang mati, pende-ngaran yang tuli, penglihatan yang buta. Dan semua itu adalah dinding yang menutupinya dari penglihatan.
“Dan bila kamu membaca Al-Qur’an, niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup dan Kami adakan tutupan di atas hati mereka dan sumbatan di telinga mereka agar mereka tidak dapat memahaminya.” (Al-Isra’: 45-46).
Bila disebutkan pengesaan tauhid dan pengesaan mutaba’ah (ke-taatan) maka orang-orang yang memiliki hati ini akan segera lari men-jauhinya.
Hati orang munafik disebut sebagai hati yang terbalik, sebagaimana firman Allah,
“Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalik-kan mereka kepada kekafiran disebabkan oleh usaha mereka sendiri.” (An-Nisa’: 88).
Maksudnya Allah membalikkan dan mengembalikan mereka pada kebatilan yang dahulu mereka berada di dalamnya, disebabkan oleh usaha dan perbuatan mereka yang salah. Inilah sejahat-jahat dan sebu-ruk-buruk hati. la mempercayai bahwa yang batil adalah benar dan se-tia kepada para pengikut kebatilan. Sebaliknya, ia mempercayai bahwa yang haq itulah yang batil dan memusuhi orang-orang yang meng-ikuti kebenaran. Wallahul musta’an (hanya kepada Allah kita memohon perto-longan).
Hati yang di dalamnya terdapat dua materi adalah hati yang imannya belum mantap dan pelitanya belum menyala. Ia belum memurnikan dirinya untuk kebenaran yang karenanya Allah mengutus para rasul. Ia adalah hati yang berisi materi kebenaran dan hal yang sebaliknya. Terkadang ia lebih dekat dengan kekafiran daripada dengan keimanan. Dan pada kali lain, ia bisa lebih dekat dengan keimanan daripada dengan kekafiran. Karena itu, ia akan dikuasai oleh yang memenangkan pergulatan antara keduanya.
(Ighatsatul Lahfan, Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah)
Orang yang merenungkan Al-Qur’an dan As-Sunnah tentu akan mendapatkan bahwa penyebutan keduanya terhadap masalah syetan, tipu daya dan untuk memeranginya lebih banyak daripada penyebutan-nya kepada masalah nafsu. Nafsu madzmumah (yang buruk dan jahat) disebutkan dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan.” (Yusuf: 53).
Nafsu lawwamah (yang suka mencela) disebutkan dalam firman-Nya,
“Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).” (Al-Qiyamah: 2).
Demikian juga nafsu madzmumah disebutkan dalam firman-Nya,
“Dan (ia) menahan diri dari keinginan hawa nafsunya.” (An-Nazi’at: 40).
Adapun masalah syetan, ia disebutkan dalam banyak tempat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Peringatan Tuhan kepada hamba-Nya dari godaan dan tipu daya syetan lebih banyak daripada peringatan-Nya dari nafsu, dan itulah kelaziman yang sebenarnya. Sebab kejahatan dan rusaknya nafsu adalah karena godaannya. Maka godaan syetan itulah yang menjadi poros dan sumber kejahatan atau ketaatannya.
Allah memerintahkan hamba-Nya agar berlindung dari syetan saat membaca Al-Qur’an atau lainnya. Dan ini adalah karena betapa sangat diperlukannya berlindung diri dari syetan. Sebaliknya, Allah tidak memerintahkan, meski dalam satu ayat, agar kita berlindung dari nafsu.
Berlindung dari kejahatan nafsu hanya kita dapatkan dalam Khuthbatul Hajah dalam sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
“Dan kami berlindung kepada Allah dari kejahatan-kejahatan nafsu kami dan dari keburukan-keburukan perbuatan kami.” Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menghimpun isti’adzah (permohonan perlindungan) dari kedua hal tersebut (syetan dan nafsu) dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, “Bahwasanya Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu Anhu berkata, Wahai Rasulullah! Ajarilah aku sesuatu yang harus kukatakan jika aku berada pada pagi dan petang hari’ Beliau meniawab. ‘Katakanlah. “Ya Allah Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Pencipta segenap langit dan bumi, Tuhan dan pemilik segala sesuatu, aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan nafsuku dan dari kejahatan syetan serta sekutunya, (aku berlindung kepada-Mu) dari melakukan kejahatan terhadap nafsuku atau aku lakukannya kepada seorang Muslim.” Katakanlah hal ini jika engkau berada pada pagi dan petang hari dan saat engkau akan tidur. (Diriwayatkan At-Tirmidzi dan ia men-shahih-kannya, Abu Daud, Ad-Darimi dengan sanad shahih).
Hadits di atas mengandung isti’adzah dari semua kejahatan, sebab-sebab serta tujuannya. Dan bahwa semua kejahatan itu tak akan keluar dari nafsu atau syetan. Adapun tujuannya, ia bisa kembali kepada yang melakukannya atau kepada saudaranya sesama Muslim. Jadi hadits di atas menjelaskan dua sumber kejahatan yang dari keduanya semua kejahatan berasal dan menjelaskan dua macam tujuan kejahatan itu menimpa..
(Ighatsatul Lahfan, Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah)
Hati yang pertama selalu tawadhu’, lemah lembut dan sadar, hati yang kedua adalah kering dan mati, sedang hati yang ketiga hati yang sakit; ia bisa lebih dekat pada keselamatan dan bisa pula lebih dekat pada kehancuran.
Allah menjelaskan ketiga jenis hati itu dalam firman-Nya,
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila dia mempunyai sesuatu ke-inginan, syetan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keingin-an itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syetan itu dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana, agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh syetan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu, benar-benar dalam permusuhan yang sangat, dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu meyakini bahwa Al-Qur’an itulah yang haq dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya, dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.” (Al-Hajj: 52-54).
Dalam ayat ini Allah membagi hati menjadi tiga macam: Dua hati terkena fitnah dan satu hati yang selamat. Dua hati yang terkena fitnah adalah hati yang di dalamnya ada penyakit dan hati yang keras (mati), sedang yang selamat adalah hati orang Mukmin yang merendahkan dirinya kepada Tuhannya, dialah hati yang merasa tenang dengan-Nya, tunduk, berserah diri serta taat kepada-Nya.
Yang demikian itu karena hati dan anggota tubuh lainnya diharapkan agar selamat dan tidak ada penyakit di dalamnya, dan melaksanakan tujuan dari penciptaannya. Adapun penyimpangannya dari jalan lurus mungkin karena ia kering dan keras serta tidak melaksanakan apa yang semestinya diinginkan daripadanya. Seperti tangan yang putus, hidung yang bindeng, dzakar yang impoten dan mata yang tak bisa melihat sesuatu. Atau karena terdapat penyakit dan kerusakan yang mengha-langinya melakukan pekerjaan secara sempurna dan berada dalam ke-benaran. Oleh sebab itu, hati terbagi menjadi tiga macam:
Pertama: Hati yang sehat dan selamat, yaitu hati yang selalu mene-rima, mencintai dan mendahulukan kebenaran. Pengetahuannya tentang kebenaran benar-benar sempurna, juga selalu taat dan menerima se-penuhnya.
Kedua: Hati yang keras, yaitu hati yang tidak menerima dan taat pada kebenaran.
Ketiga: Hati yang sakit, jika penyakitnya sedang kambuh maka hati-nya menjadi keras dan mati, dan jika ia mengalahkan penyakit hatinya maka hatinya menjadi sehat dan selamat.
Apa yang diperdengarkan oleh syetan dari kata-kata dan yang dibisik-kannya dari berbagai keragu-raguan dan syubhat adalah merupakan fitnah terhadap dua hati tersebut. Adapun hati yang hidup dan sehat maka dia tetap tegar. Ia selalu menolak berbagai ajakan syetan itu. Ia membenci dan mengutuknya. Ia mengetahui bahwa kebenaran adalah yang sebaliknya. Ia tunduk pada kebenaran, merasa tenang dengannya dan mengikutinya. la mengetahui kebatilan apa yang dibisikkan syetan. Karena itu iman dan kecintaannya pada kebenaran semakin bertambah, sebaliknya ia semakin mengingkari dan membenci kebatilan. Hati yang terfitnah dengan bisikan-bisikan syetan akan terus berada dalam ke-raguan, sedang hati yang selamat dan sehat tak pernah terpengaruh dengan apa pun yang dibisikkan syetan.
Hudzaifah bin Al-Yamani Radhiyallahu Anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Fitnah-fitnah itu menempel ke dalam hati seperti tikar (yang di-anyam), sebatang-sebatang. Hati siapa yang mencintainya, niscaya timbul noktah hitam dalam hatinya. Dan hati siapa yang meng-ingkarinya, niscaya timbul noktah putih di dalamnya, sehingga men-jadi dua hati (yang berbeda). (Yang satunya hati) hitam legam seperti cangkir yang terbalik, tidak mengetahui kebaikan, tidak pula mengingkari kemungkaran, kecuali yang dicintai oleh hawa nafsunya. (Yang satunya hati) putih, tak ada fitnah yang membahayakannya selama masih ada langit dan bumi.” (Diriwayatkan Muslim).
Beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam menyamakan hati yang sedikit demi sedikit terkena fitnah dengan anyaman-anyaman tikar, yakni ke-kuatan yang merajutnya sedikit demi sedikit. Beliau membagi hati dalam menyikapi fitnah menjadi dua macam: Pertama, hati yang bila dihadapkan dengan fitnah serta merta mencintainya, seperti bunga karang menyerap air, sehingga timbullah noktah hitam di dalamnya. Demikianlah, ia terus menyerap setiap fitnah yang dihadapkan pada-nya, sampai hatinya menjadi hitam legam dan terbalik. Inilah makna sabda beliau “cangkir yang terbalik”. Jika hati telah hitam legam dan terbalik maka ia akan dihadapkan pada dua bencana dan penyakit yang membahayakannya serta melemparkannya pada kebinasaan. Pertama, ia memandang sesuatu yang baik sama dengan sesuatu yang buruk. Ia menjadi tidak tahu mana yang baik, tidak pula mengingkari kemungkaran. Bahkan mungkin karena sangat kronisnya penyakit ini, sehingga ia mempercayai bahwa yang baik itulah yang mungkar dan yang mung-kar. itulah yang baik, yang haq adalah batil dan yang batil adalah haq. Kedua, ia menjadikan hawa nafsu sebagai pedoman apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, ia senantiasa tunduk dan mengikuti hawa nafsunya.
Kedua, hati putih yang memancarkan cahaya iman, di dalamnya terdapat pelita yang menerangi. Jika fitnah dihadapkan padanya ia mengingkari dan menolaknya, sehingga hatinya pun menjadi semakin bercahaya, memancarkan sinar dan semakin kokoh.
Fitnah-fitnah yang menimpa hati itulah penyebab timbulnya penya-kit hati. Di antara fitnah-fitnah itu adalah fitnah syahwat dan syubhat, fitnah kesalahan dan kesesatan, fitnah maksiat dan bid’ah, fitnah keza-liman dan fitnah kebodohan. Fitnah-fitnah yang pertama mengakibatkan rusaknya tujuan dan keinginan, sedang fitnah-fitnah kedua mengakibat-kan rusaknya ilmu dan i’tiqad (kepercayaan).
Para sahabat Radhiyallahu Anhum membagi hati menjadi empat macam. Demikian seperti disebutkan dalam riwayat yang shahih dari Hudzaifah bin Al-Yaman, “Hati itu ada empat macam: Pertama, hati murni yang di dalamnya ada pelita yang menyala, itulah hati orang Mukmin. Kedua, hati yang tertutup, itulah hati orang kafir. Ketiga, hati yang terbalik, itulah hati orang munafik, ia mengetahui (kebenaran) tetapi mengingkarinya, ia melihat tetapi membuta. Dan terakhir hati yang terdiri dari dua materi: Iman dan kemunafikan, mana yang menang dalam pergulatan itulah yang menguasai.
Adapun yang dimaksud dengan hati murni yaitu hati yang bebas dari selain Allah dan Rasul-Nya. Ia bebas dan selamat dari selain kebe-naran. Di dalamnya ada pelita yang menyala. Itulah pelita iman. Disebut murni karena ia selamat dari berbagai syubhat batil dan syahwat sesat, juga karena di dalamnya ia memperoleh pelita yang menyinarinya de-ngan cahaya ilmu dan iman. Hati orang kafir disebut sebagai hati yang tertutup karena hati itu ada di dalam sampul dan penutup, sehingga ti-dak ada cahaya ilmu dan iman yang sampai padanya, sebagaimana firman Allah mengisahkan tentang orang-orang Yahudi,
“Mereka berkata, ‘Hati kami tertutup’.” (Al-Baqarah: 88).
Penutup itu Allah letakkan di atas hati mereka sebagai siksaan kare-na penolakan mereka terhadap kebenaran dan kecongkakan mereka sehingga tak mau menerima kebenaran. Ia adalah hati yang mati, pende-ngaran yang tuli, penglihatan yang buta. Dan semua itu adalah dinding yang menutupinya dari penglihatan.
“Dan bila kamu membaca Al-Qur’an, niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup dan Kami adakan tutupan di atas hati mereka dan sumbatan di telinga mereka agar mereka tidak dapat memahaminya.” (Al-Isra’: 45-46).
Bila disebutkan pengesaan tauhid dan pengesaan mutaba’ah (ke-taatan) maka orang-orang yang memiliki hati ini akan segera lari men-jauhinya.
Hati orang munafik disebut sebagai hati yang terbalik, sebagaimana firman Allah,
“Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalik-kan mereka kepada kekafiran disebabkan oleh usaha mereka sendiri.” (An-Nisa’: 88).
Maksudnya Allah membalikkan dan mengembalikan mereka pada kebatilan yang dahulu mereka berada di dalamnya, disebabkan oleh usaha dan perbuatan mereka yang salah. Inilah sejahat-jahat dan sebu-ruk-buruk hati. la mempercayai bahwa yang batil adalah benar dan se-tia kepada para pengikut kebatilan. Sebaliknya, ia mempercayai bahwa yang haq itulah yang batil dan memusuhi orang-orang yang meng-ikuti kebenaran. Wallahul musta’an (hanya kepada Allah kita memohon perto-longan).
Hati yang di dalamnya terdapat dua materi adalah hati yang imannya belum mantap dan pelitanya belum menyala. Ia belum memurnikan dirinya untuk kebenaran yang karenanya Allah mengutus para rasul. Ia adalah hati yang berisi materi kebenaran dan hal yang sebaliknya. Terkadang ia lebih dekat dengan kekafiran daripada dengan keimanan. Dan pada kali lain, ia bisa lebih dekat dengan keimanan daripada dengan kekafiran. Karena itu, ia akan dikuasai oleh yang memenangkan pergulatan antara keduanya.
(Ighatsatul Lahfan, Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah)
Pembagian Obat Penyakit Hati : Alamiyah Dan Syar’iyah
Penyakit
hati itu ada dua macam: Pertama, orang yang bersangkutanseketika itu
tidak merasakan sakit apa-apa, dan inilah jenis penyakit terdahulu,
seperti: Penyakit kebodohan, penyakit syubhat dan keraguan serta
penyakit syahwat. Penyakit hati ini adalah jenis penyakit yang paling
besar, tetapi karena hati telah rusak maka ia tidak merasakan sakit
apa-apa. Sebab mabuk kebodohan dan hawa nafsu telah menghalanginya dari
mengetahui penyakit. Jika tidak, tentu ia akan merasakannya, sebab
penyakit itu ada pada dirinya. Tetapi ia tidak mempedulikannya karena
sibuk dengan hal lain yang tak ada sangkut pautnya dengan masalah yang
ia hadapi. Inilah jenis penyakit hati yang paling berbahaya dan paling
sulit. Yang bisa melakukan pengobatannya hanyalah para rasul dan
pengikutnya, merekalah dokter-dokter dari jenis penyakit ini.
Kedua, penyakit
hati yang menimbulkan sakit seketika, seperti: Sedih, gundah, resah dan
marah. Penyakit ini terkadang bisa hilang dengan obat-obat alamiah.
Seperti dengan menghilangkan sebab-sebabnya, atau mengobatinya dengan
sesuatu yang berlawanan dengan sebab-sebab yang dimaksud atau dengan
sesuatu yang bisa menyehatkannya. Dan, sebagaimana hati terkadang merasa
sakit dengan sakit yang dirasakan oleh badan, demikian pula badan, ia
sering merasa sakit dengan sakit yang dirasakan oleh hati, ia menjadi
malang karena kemalangan yang dirasakan oleh hati.
Beberapa
penyakit hati yang bisa dihilangkan dengan obat-obat alamiah adalah
termasuk jenis penyakit badan. Dan hal itu terkadang tidak menjadi
faktor satu-satunya yang menyebabkannya celaka atau disiksa setelah ia
mati. Adapun penyakit-penyakit hati yang tidak bisa sembuh kecuali
dengan obat imaniyah Nabawiyah maka itulah yang menjadi faktor penentu
bagi kecelakaan dan siksa kekal, jika ia tidak mendapatkan obat-obat
yang merupakan lawan daripadanya. Jika ia menggunakan obat-obatan itu
maka penyakitnya akan sembuh. Karena itu dikatakan, "Ia telah sembuh
dari marahnya." Bila musuh hati sedang menguasai maka hal itu akan
menyakitkannya dan bila ia sadar daripadanya maka hatinya akan sembuh.
Allah befirman,
"Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman dan menghilangkan kemarahan orang-orang Mukmin. Dan Allah menerima taubat orang yang dikehendaki-Nya."
(At-Taubah: 14-15).
Allah memerintahkan agar mereka memerangi musuh-musuh mereka, dan Dia memberitahukan bahwa di dalamnya ada enam manfaat.
Marah
adalah menyakitkan hati, obatnya dengan meredakan kemarahan itu, jika
ia mengobatinya dengan yang haq, niscaya ia akan sembuh, tetapi jika ia
mengobatinya dengan kezaliman dan kebatilan maka penyakit itu akan
semakin bertambah, sedang dia menyangka bahwa hal itu akan
menyembuhkannya. Ia laksana orang yang mengobati penyakit rindu dengan
melakukan maksiat bersama orang yang dirindukannya, padahal itu akan
menambah penyakitnya, akan timbul penyakit lain yang lebih sulit dari
sekedar rindu. Hal ini insya Allah akan kita bahas kemudian secara
rinci. Kegundahan, kegelisahan dan kesedihan juga merupakan
penyakit-penyakit hati, dan untuk mengobatinya yaitu dengan mencarikan
hal yang berlawanan dengannya yakni kesenangan dan kegembiraan. Jika hal
itu ia obati dengan haq maka had akan menjadi sembuh dan sehat dari
penyakitnya. Dan jika diobati dengan yang batil niscaya penyakit itu
akan tetap bersembunyi dan menyelinap, ia akan tetap ada bahkan
menyebabkan penyakit-penyakit lain yang lebih sulit dan lebih berbahaya.
Demikian
pula kebodohan, ia adalah penyakit yang menyakitkan hati, dan di antara
manusia ada yang mengobatinya dengan ilmu-ilmu yang tidak bermanfaat,
sedang dia mempercayai bahwa dengan ilmu-ilmu tersebut maka penyakitnya
telah hilang. Padahal yang sesungguhnya, hal itu hanya malah menambah
penyakit lain atas penyakitnya, tetapi hati tidak mau mempedulikan sakit
yang dikandungnya, disebabkan oleh kebodohannya dengan ilmu-ilmu yang
bermanfaat, yang ia merupakan syarat bagi kesehatan dan kesembuhannya.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda tentang orang-orang
yang berfatwa dengan kebodohannya, sehingga menjerumuskan orang-orang
yang meminta fatwa padanya, beliau bersabda,
"Mereka membunuh orang tersebut, semoga Allah membunuh mereka, mengapa mereka tidak bertanya saat mereka tidak mengerti? Sesungguhnya sembuhnya penyakit adalah dengan bertanya. "*)
Demikian
pula dengan orang yang ragu dan bingung, hatinya akan merasa sakit
sampai ia mendapatkan ilmu dan keyakinan. Dan karena keraguan membuat
hati menjadi panas maka kepada orang yang mendapatkan keyakinan
dikatakan, hatinya sejuk, keyakinan membuatnya sejuk. Juga seseorang
akan merasa sempit dengan kebodohan dan ketersesatannya dari jalan
kebenaran. Sebaliknya, akan merasa lapang dengan petunjuk dan ilmu.
Allah befirman,
"Siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscayaDia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seakan-akan ia sedang mendaki ke langit." (Al-An’am: 125).
Pembahasan mengenai sesak dada, sebab dan pengobatannya insya Allah akan kita kaji kemudian.
Maksudnya,
di antara penyakit hati ada yang hilang dengan obat-obatan alamiah,
tetapi ada pula di antaranya yang tidak dapat hilang kecuali dengan
obat-obatan syariat dan iman. Dan hati memiliki kehidupan dan kematian,
sakit dan sehat, dan itulah sesuatu yang paling agung yang dimiliki oleh
badan.
Ighatsatul Lahfan – Ibnul Qoyyim Al Jauziyah
*)
Abu Daud dan Daruquthni meriwayatkan dari Jabir, ia berkata, "Kami
keluar dalam suatu perjalanan, lalu seorang dari kami tertimpuk batu
sehingga ia terluka kepalanya, kemudian ia mimpi basah, lalu ia bertanya
kepada para sahabatnya, "Apakah kalian mendapatkan rukhshah untukku
sehingga aku bertayamum?" Mereka menjawab, "Kami tidak
mendapatkan rukhshah untukmu, sedangkan engkau bisa menggunakan air."
Orang itu lalu mandi dan kemudian meninggal. Ketika kami menghadap Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam, kepada beliau dikisahkan peristiwa
tersebut. Maka beliau bersabda, "Mereka telah membunuhnya, semoga Allah
membunuh mereka. Mengapa mereka tidak bertanya saat mereka tidak
menge-tahui?" (Lihat Muntaqal Akhbar, 1/161, no.452).
Mengobati Penyakit Hati Dari Syetan
Ini adalah bab terpenting dan paling bermanfaat di antara bab-bab buku ini. Orang-orang ahli suluk*) tidak memperhatikannya sebagaimana perhatian mereka terhadap aib dan keburukan nafsu.Dalam bab tersebut mereka sangat mendalaminya, tetapi tidak dalam bab ini.Orang yang merenungkan Al-Qur’an dan As-Sunnah tentu akan mendapatkan bahwa penyebutan keduanya terhadap masalah syetan, tipu daya dan untuk memeranginya lebih banyak daripada penyebutan-nya kepada masalah nafsu. Nafsu madzmumah (yang buruk dan jahat) disebutkan dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan.” (Yusuf: 53).
Nafsu lawwamah (yang suka mencela) disebutkan dalam firman-Nya,
“Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).” (Al-Qiyamah: 2).
Demikian juga nafsu madzmumah disebutkan dalam firman-Nya,
“Dan (ia) menahan diri dari keinginan hawa nafsunya.” (An-Nazi’at: 40).
Adapun masalah syetan, ia disebutkan dalam banyak tempat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Peringatan Tuhan kepada hamba-Nya dari godaan dan tipu daya syetan lebih banyak daripada peringatan-Nya dari nafsu, dan itulah kelaziman yang sebenarnya. Sebab kejahatan dan rusaknya nafsu adalah karena godaannya. Maka godaan syetan itulah yang menjadi poros dan sumber kejahatan atau ketaatannya.
Allah memerintahkan hamba-Nya agar berlindung dari syetan saat membaca Al-Qur’an atau lainnya. Dan ini adalah karena betapa sangat diperlukannya berlindung diri dari syetan. Sebaliknya, Allah tidak memerintahkan, meski dalam satu ayat, agar kita berlindung dari nafsu.
Berlindung dari kejahatan nafsu hanya kita dapatkan dalam Khuthbatul Hajah dalam sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
“Dan kami berlindung kepada Allah dari kejahatan-kejahatan nafsu kami dan dari keburukan-keburukan perbuatan kami.” Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menghimpun isti’adzah (permohonan perlindungan) dari kedua hal tersebut (syetan dan nafsu) dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, “Bahwasanya Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu Anhu berkata, Wahai Rasulullah! Ajarilah aku sesuatu yang harus kukatakan jika aku berada pada pagi dan petang hari’ Beliau meniawab. ‘Katakanlah. “Ya Allah Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Pencipta segenap langit dan bumi, Tuhan dan pemilik segala sesuatu, aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan nafsuku dan dari kejahatan syetan serta sekutunya, (aku berlindung kepada-Mu) dari melakukan kejahatan terhadap nafsuku atau aku lakukannya kepada seorang Muslim.” Katakanlah hal ini jika engkau berada pada pagi dan petang hari dan saat engkau akan tidur. (Diriwayatkan At-Tirmidzi dan ia men-shahih-kannya, Abu Daud, Ad-Darimi dengan sanad shahih).
Hadits di atas mengandung isti’adzah dari semua kejahatan, sebab-sebab serta tujuannya. Dan bahwa semua kejahatan itu tak akan keluar dari nafsu atau syetan. Adapun tujuannya, ia bisa kembali kepada yang melakukannya atau kepada saudaranya sesama Muslim. Jadi hadits di atas menjelaskan dua sumber kejahatan yang dari keduanya semua kejahatan berasal dan menjelaskan dua macam tujuan kejahatan itu menimpa..
(Ighatsatul Lahfan, Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah)
0 komentar:
Post a Comment