Selamat datang di blog saya

Membangun Kebahagiaan Keluarga

Suatu hari, Ibrahim Kafi, seorang wartawan yang juga dikenal sebagai pakar ‘cinta’ dan pernah menulis buku “Kalam fi Al Hub wa Ash Shabr” yang mengupas habis tentang tema-tema cinta, pernah diundang dalam acara talkshow sebuah stasiun televisi swasta di Kairo. Terjadi dialog yang menarik antara presenter dengan sang pakar pada talkshow yang mengambil tema “Membangun Kebahagiaan Hidup Suami Istri” itu.
Presenter: “Menurut hemat Anda, seperti apakah sejatinya kebahagiaan hidup suami istri itu?”
Ibrahim Kafi: “Kebahagiaan hidup suami istri mewujud, apabila ada kesediaan saling memahami, menghargai, dan saling mengalah di antara masing-masing pasangan. Satu sama lain harus ‘bisa’ memahami dan menghargai pasangan hidupnya. Sang istri harus mengerti betul pekerjaan dan kesibukan suaminya. Ia harus mencurahkan segenap perhatiannya kepada suami, anak-anak dan segala hal yang terkait dengan ‘isi’ rumahnya.
Sang suami harus mengapresiasi jerih payah istrinya, atas usaha dan pekerjaan yang ditunaikannya, mewujudkan rasa bahagia, nyaman dan tenteram bagi dirinya serta anak-anaknya. Sang suami harus ‘mengganti’ kerja keras istrinya dengan mengajaknya berjalan-jalan, atau memberinya hadiah yang membuat hati sang istri bahagia. Sebuah usaha yang tulus untuk saling membahagiakan dan menenteramkan hati pasangan hidup.”

Presenter: “Siapa sejatinya yang memiliki peran besar untuk mewujudkan kebahagiaan hidup suami istri?”
Ibrahim Kafi: “Peran seorang istri jauh lebih besar daripada suaminya dalam mewujudkan kebahagiaan hidup suami istri. Sebab, keberadaan seorang istri dalam hidup berumah tangga, laksana ‘paku rumah’ yang menjaga keseimbangan ‘atap’ kehidupan rumah tangga. Seorang istri memegang kendali utama laju ‘udara’ situasi dalam rumah. Jika udaranya baik, kondisi rumah akan diembus udara sehat. Jika anginnya buruk, situasi rumah akan dihantam badai topan ketidakstabilan.”
Presenter: “Akan tetapi, kebanyakan suami bertindak semena-mena, hingga melukai hati istri dan menyebabkan sang istri menderita.”
Ibrahim Kafi: “Saya tidak mengingkari adanya suami yang tegas dalam menahkodai ‘laju’ bahtera rumah tangga. Sebab, seorang suami bertanggung jawab penuh atas kebahagiaan maupun kelangsungan hidup penghuni rumahnya. Di mata para suami, rumah adalah ‘oase’ keteduhan, ketenteraman, dan kebahagiaan. Oleh karenanya, para suami berusaha melakukan yang terbaik untuk mewujudkan nuansa surgawi di rumahnya. Ia curahkan tenaga, pikiran, waktu, kesabaran, dan harta bendanya untuk kebahagiaan hidup keluarga. Seorang suami, tidak akan pernah menahan apa yang dimilikinya untuk membahagiakan istri dan anak-anaknya. Namun demikian, semua dilakukan dalam batas yang wajar dan tidak berlebih-lebihan. Sebab, kebahagiaan hidup suami istri, tidak ditentukan oleh banyaknya uang belanja, maupun pemenuhan kebutuhan materi secara berlebih. Kebahagiaan itu terletak pada usaha menciptakan ketenteraman dan kenyamanan hidup, serta rasa saling bertanggung jawab di antara sesama anggota keluarga, berdasarkan ‘rasa’ saling mencintai, meyayangi, dan toleransi.”
Presenter: “Menurut Anda, seperti apakah sejatinya yang disebut sosok istri idaman itu?”
Ibrahim Kafi: “Sosok seorang istri seperti yang digambarkan sang Rasulullah saw. Istri yang apabila dilihat suaminya, ia menyejukkan hati sang suami. Jika ditinggal bepergian, ia menjaga kehormatan diri dan suaminya, serta menjaga harta kepemilikan sang suami.”
Presenter: ”Anda bisa menjelaskan lebih detil perkataan Rasulullah saw. tersebut?”
Ibrahim Kafi: “Ia adalah prototype istri yang mengerti kapan waktu yang tepat untuk berbincang…
Ibrahim Kafi: “Ia adalah prototype istri yang mengerti kapan waktu yang tepat untuk berbincang dengan suaminya perihal permasalahan yang muncul di rumah. Ia tidak memaksa suaminya membelikan sesuatu untuk anaknya, hanya karena anak tetangga punya mainan atau sesuatu yang baru. Ia tidak menyuruh suaminya ‘berang’ hanya karena anaknya dilukai anak tetangga saat bermain. Ia tidak meminta dibelikan sesuatu di luar kemampuan suaminya. Ia tidak membebani suaminya dengan ‘tanggungan’ yang tidak sanggup dilakukan sang suami. Ia selalu menjaga diri, suami dan anak-anaknya agar tidak diterpa malapetaka dunia dan siksa ahirat. Ia selalu memompa semangat hati dan jiwa suaminya agar bisa berbuat yang terbaik untuk anak-anaknya. Ia selalu mewadahi keresahan jiwa suaminya. Tidak membuat suaminya marah atau putus asa. Jika sang suami jatuh sakit, ia akan merawatnya sebaik mungkin. Jika penghasilan suami tidak cukup atau kehilangan sumber mata pencarian hidup, ia tidak menghardik maupun menistanya. Ia selalu menyemangati suaminya untuk mencari rezeki yang halal. Ia selalu setia mendampingi suaminya, baik dalam suka mapun duka.”
Presenter: “Lantas bagaimana dengan suami ideal?”
Ibrahim Kafi: “Keberadaan seorang suami dalam kehidupan berumah tangga, laksana nahkoda kapal yang sedang berlayar di samudera lepas. Karenanya, seorang suami dituntut untuk tegas mengambil keputusan, bijak bestari dalam bersikap, penuh kasih sayang kepada seluruh anggota keluarganya. Seorang suami harus mampu mencitrakan dirinya sebagai kepala keluarga, yang mengalah tanpa diremehkan,  dicintai tanpa ditakuti, tegas tanpa kekerasan. Ia bertanggung jawab atas kebahagiaan segenap penghuni rumahnya. Menjaga kredibilitas dan wibawa sebagai suami dan kepala rumah tangga. Mencurahkan tenaga, pikiran, waktu, dan harta kepemilikannya untuk mewujudkan kesejahteraan keluarganya. Rela mengorbankan apa yang dimilikinya demi keluarganya tanpa berharap imbalan. Sebab, setiap orang tua pasti membanting tulang untuk mempersiapkan masa depan anak-anak mereka.
Jerih payah orang tua tidak untuk maksud pamrih. Orang tua dalam mencurahkan jiwa raga untuk anak-anaknya bukan untuk menunggu balasan maupun pamrih dari anak-anaknya. Bagi orang tua, sudah cukup ‘imbalan’ yang diterimanya, jika anak-anaknya tumbuh menjadi anak yang baik, sukses, dan bahagia menjalani kehidupan mereka. Oleh karenanya, setiap orang tua pasti membekali anak-anak mereka pengetahuan agama. Memberi pesan hidup dengan kearifan-kearifan hidup, serta nilai-nilai luhur kehidupan. Setiap orang tua harus menanamkan nilai dan perilaku keagamaan dalam diri anak-anak mereka. Mengajari mereka shalat dan puasa, serta mengikuti sunnah Rasulullah saw., tanpa mengurangi maupun melebih-lebihkannya. Para orang tua selazimnya mengajarkan keseimbangan hidup, antara kerja lahir dan kerja batin. Antara aspek jasmani dan ruhani, agar supaya anak-anak mereka bahagia dalam kehidupan dunia dan hidup di akhirat.”
Presenter: “Bisa Anda jelaskan, apa peran anak dalam kehidupan suami istri, agar mewujud kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga?”
Ibrahim Kafi: “Anak-anak adalah permata hati orang tua mereka. Anak-anak adalah wujud nyata hati orang tua mereka. Jika orang tua mereka memberi hak-hak pengasuhan, pendidikan, dan hak-hak hidup mereka yang lain, niscaya mereka bakal menjadi oase kebahagiaan ayah dan ibu mereka. Mereka laksana merpati-merpati kedamaian, kenyamanan, kebahagiaan, dan keteduhan yang selalu hinggap di dada kedua orang tua mereka, sebagaimana dimetaforakan Rasul saw., mereka adalah permata hati. Adapun jika hak-hak anak diabaikan, tidak diperhatikan hidupnya, tidak dipenuhi hak pengasuhan dan pendidikannya, terlebih orang tuanya tidak mendidiknya dengan baik, niscaya, si anak bakal menjadi petaka keluarga. Biang segala kesedihan dan kesusahan orang tuanya. Bahkan menjadi fitnah bagi orang tuanya. Tidak saja dalam kehidupan dunia, namun juga di ‘kampung’ akhirat.”
Presenter: “Apakah Anda yakin, Anda telah menemukan kebahagiaan hidup bersuami istri?”
Ibrahim Kafi: “Apa jawaban saya akan Anda tayangkan juga?”
Presenter: “Tentu saja.”
Ibrahim Kafi (sambil tertawa): “Tentu, saya sangat bahagia menjalani kehidupan bersuami istri. Jika tidak, mana mungkin saya bisa mewujudkan harapan dan cita-cita hidup saya. Andai bukan karena kejernihan cinta, pemahaman yang utuh dan pengertian istri saya kepada profesi saya sebagai wartawan, niscaya, saya tidak bisa meraih kesuksesan seperti yang saya raih saat ini.”[]

0 komentar:

Post a Comment